Beritane.com – Setelah pernikahan Luna Maya dengan Maxime Bouttier digelar secara megah di Bali, publik tak hanya menyoroti kemeriahan acara, tetapi juga mulai mencari tahu lebih dalam tentang orang tua Luna Maya, terutama sang ayah, mendiang Uut Bambang Sugeng.
Banyak yang penasaran dengan latar belakang keluarga sang aktris, terutama karena nuansa Jawa yang kental dalam prosesi adat yang dilangsungkan.
Meski Luna Maya dikenal luas sebagai aktris berdarah Bali, sejumlah rangkaian acara pernikahan justru mencerminkan tradisi Jawa yang sangat kuat.
Rasa penasaran publik pun bermunculan—siapa sebenarnya orang tua Luna Maya dan bagaimana perjalanan hidup mereka?
Ternyata, sosok orang tua Luna Maya adalah mendiang Uut Bambang Sugeng merupakan bagian penting dalam warisan budaya yang kini mengalir dalam dirinya.
Ia bukan tokoh yang banyak terekspos media, karena telah berpulang sejak 28 November 1995, namun namanya kembali mencuat saat digelarnya pameran seni bertajuk Double Flame pada Desember 2024 lalu di Bali.
Dalam momen ini, Luna Maya membagikan kabar eksibisi tersebut melalui media sosial, lengkap dengan QR code yang mengarahkan pengunjung ke katalog pameran digital.
Berdasarkan informasi yang dikurasi oleh Arif Bagus Prasetyo dalam katalog tersebut, diketahui bahwa Uut Bambang Sugeng lahir pada tahun 1951 di Yogyakarta.
Ia berasal dari keluarga berdarah Cirebon dan Bojonegoro. Usai menyelesaikan pendidikannya, ia hijrah ke Bali dengan semangat kebebasan, mencari ruang yang lebih luas untuk mengekspresikan kecintaannya pada dunia seni.
Kiprah sang ayah dalam dunia seni sangatlah luas. Tahun 1976, ia bahkan sempat merantau ke India untuk mendalami alat musik sarot.
Setelah kembali ke Indonesia, ia menikah dengan seorang wanita asal Austria bernama Desa Maya Waltraud Maier—yang kelak dikenal sebagai ibu dari Luna Maya—dan menetap di Bali.
Dari sinilah cikal bakal perjalanan keluarga ini dimulai, menjadikan orang tua Luna Maya sebagai pasangan lintas budaya yang menyatu lewat seni.
Perjalanan seni Uut tak hanya berhenti di musik. Ia mengekspresikan kreativitasnya lewat media batik, yang ia tekuni bersama istrinya lewat butik bernama Boutique Banana.
Batik-batik hasil karya mereka ternyata sangat diminati, bahkan meraih pasar hingga ke Jepang. Namun hasrat berkesenian Uut terus tumbuh.
Ia mulai merasa media batik tidak lagi cukup untuk menampung seluruh gagasannya, sehingga berpindah ke seni lukis sebagai medium baru.
Di era 1980-an hingga awal 1990-an, Uut melakukan perjalanan seni ke berbagai negara seperti Jepang, Australia, Amerika Serikat, dan China.
Tujuannya tak lain untuk memperluas perspektif artistiknya dan memperdalam sensitivitas terhadap keindahan visual. Tema yang kerap ia angkat dalam lukisan-lukisannya adalah gambaran kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitarnya.
Sayangnya, perjalanan hidup Uut Bambang Sugeng harus terhenti di usia 45 tahun. Ia wafat pada 28 November 1995 akibat sakit mendadak.
Informasi mengenai jenis penyakit yang dideritanya tidak banyak diketahui, namun kepergiannya meninggalkan duka mendalam dan warisan seni yang tak ternilai.
Bagi Luna Maya, sang ayah bukan sekadar figur keluarga, tetapi juga inspirasi utama dalam melihat dunia melalui sudut pandang artistik. Melalui unggahannya tentang pameran Double Flame, Luna menulis pesan menyentuh: “When art becomes a legacy, it lives forever 🤍🖼️.”
Kini, meskipun orang tua Luna Maya, khususnya sang ayah, telah tiada, semangat dan nilai-nilai yang mereka tanamkan tetap hidup dalam diri Luna.
Karya seni yang diwariskan tak hanya menjadi jejak sejarah keluarga, tapi juga bagian dari identitas yang membentuk dirinya hari ini.